Humas BPN RI
18 Nopember 2010.
Liputan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar La illaha ilallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil hamd gema takbir berkumandang sejak pagi di lapangan upacara BPN RI yang digunakan untuk pelaksanaan sholat Idul Adha 1431 H, Rabu (17/11). Kepala BPN RI, H. Joyo Winoto, Ph.D dan Ibu Hj. Leila Joyo Winoto beserta kedua putrinya datang untuk menunaikan sholat Idul Adha bersama seluruh jajaran karyawan-karyawati BPN RI yang sudah hadir sejak pukul 06.00 WIB pagi sedangkan pelaksanaan sholat Idul Adha dimulai pukul 07.00 WIB.
Kepala BPN RI, H. Joyo Winoto, Ph.D dan keluarga tiba sekitar pukul 06.15 WIB. Kepala BPN RI, H. Joyo Winoto, Ph.D duduk di barisan terdepan bersama beberapa pejabat eselon I diantaranya Deputi I Ir. Wenny Rusmawar Idrus, Deputi II H. Gede Ariyuda, SH. Deputi III DR.Ir. Yuswanda AT CES.DEA, Deputi IV, Suwandi, Deputi V Drs. Aryanto Sutadi, MH.MSc dan Irtama Ir. Benny MSi. serta para pejabat eselon II, III BPN RI, Kakanwil BPN Prov. DKI Jakarta, Kakanwil BPN Prov. Jawa Barat , Kakanwil BPN Prov. Banten, beberapa pejabat eselon III dari Jabodetabek. Drs. H. Muchtar Ibnu sebagai imam sholat Idul Adha.
Khutbah Idul Adha tahun ini dengan tema Keikhlasan Berqurban Sebagai Refleksi Keimanan dan Ketaqwaan Kepada Allah SWT di sampaikan oleh Dr. H. Hakim As-sufyani Alyamani, MA. Beliau seorang mubalig muda dan Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah serta sudah hafal Al Quran sejak berusia 14 tahun.
Usai khutbah, Kepala BPN RI menyempatkan diri untuk bersilahturahmi dan bersalam-salaman dengan para jemaah. Selanjutnya secara simbolis Kepala BPN RI menyerahkan hewan qurban seekor sapi dengan berat 900 kg. Sapi tersebut telah memiliki sertifikat sehat dari Dinas Peternakan DKI Jakarta. Sapi qurban tersebut langsung diterima oleh ketua panitia Idul Adha 1431 H BPN RI dan pemotongan serta penyerahan daging qurban dilaksanakan Kamis (18/11).
Dikesempatan sama sebelum sholat Idul Adha dilaksanakan, ketua panitia Idul Adha 1431 H BPN RI, Kasubdit Penataan Kawasan Kedeputian III, Ir. R. Agus Wahyudi K.M. Eng.Sc. melaporkan bahwa telah terkumpul hewan qurban sebanyak 39 ekor sapi dan 6 ekor kambing yang merupakan sumbangan dari para pegawai BPN RI, 8 kanwil BPN Provinsi dan 19 Kantor Pertanahan. Sebagai wujud kepedulian BPN RI terhadap korban bencana alam yang ada di Mentawai, Merapi dan Wasior dikirim 12 ekor sapi melalui rumah zakat dalam bentuk daging olahan.
Kabupaten Bangka Barat (ibukota: Mentok): Merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003. Kabupaten Bangka Barat merupakan titik penyebrangan yang menghubungkan Bangka dengan Sumatera Selatan melalui pelabuhan Mentok yang merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia. kota Mentok sendiri merupakan pusat pengolahan timah Bangka serta tempat Bung Karno, Bung Hatta, Moh. Roem dan pemimpin nasional lain diasingkan selama masa revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Sabtu, 20 November 2010
Kepala BPN RI Sholat Idul Adha 1431 H di Lapangan Upacara BPN RI
Generasi Baru Birokrasi Agraria
Oleh Endriatmo Soetarto
Baru-baru ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 2010 tentang pendidikan kedinasan. Salah satu ketentuan yang dimuat dalam PP tersebut, sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, adalah mengenai ketentuan peralihan bagi pendidikan tinggi kedinasan (PTK). Alternatif penyesuaian tersebut adalah dialihkan menjadi badan hukum pendidikan (BHP), diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu, atau diserahkan kepada pemerintah daerah. Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya posisi dan peran PTK. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran lebih proporsional ihwal kehadiran dan peran PTK, mengacu pada perjalanan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, yang merupakan PTK di bawah lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI.
Konstitusi kita dengan tegas mengamanatkan bahwa ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945). Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 lebih lanjut menjelaskan bahwa sebesar-besar kemakmuran rakyat yang dimaksudkan di sini adalah “dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.”
Amanat konstitusi di atas lalu diikuti dengan ketetapan pemerintah yang menggariskan bahwa kebijakan pertanahan harus bisa berkontribusi pada empat hal berikut: (1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; (2) mengembangkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, dan pemilikan tanah; (3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat—khususnya tanah; dan (4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di Tanah Air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa serta konflik di kemudian hari.
Dengan mandat seperti tersebut di atas, fungsi penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertanahan haruslah didukung dengan keberadaan dan peran kader-kader penggerak birokrasi agraria. Artinya, peran mereka tidaklah sebatas mengelola aspek administrasi dan manajemen pertanahan semata, seperti dikesankan dan telah membentuk “citra diri” para aparatur pelayan pertanahan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Pencitraan tersebut berhubungan dengan upaya de-ideologisasi konstitusional atas fungsi-fungsi administratif negara di dalam menangani masalah-masalah pertanahan, utamanya semasa rezim Orba. Dengan kata lain, kebijakan pertanahan yang taat asas pada amanat konstitusi adalah yang diletakkan pada kerangka pro-poor policy yang komprehensif. Kebijakan ini secara kategoris bertujuan melindungi dan meningkatkan akses serta kepemilikan tanah penduduk miskin yang, dalam konteks agraris, menyangkut berbagai tipe dan kelompok petani dan pekerja pedesaan yang bertanah sempit atau tunakisma.
Secara terperinci, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kebijakan pertanahan dapat bersifat pro-poor: (1) adanya transfer kemakmuran, yakni kebijakan pertanahan itu harus bisa mentransfer kemakmuran berbasis tanah (atau melindungi apa yang sudah ada) dari pihak yang semula menguasainya kepada warga miskin; (2) transfer kekuasaan politik, yakni ia dapat mentransfer atau melindungi kekuasaan politik pada warga miskin pedesaan untuk mengontrol sumber-sumber agraria yang menjadi basis kehidupannya; (3) sadar pelapisan sosial, yakni ia memahami bahwa kepentingan penduduk miskin pedesaan yang bertanah sempit atau tunakisma amatlah beragam (petani tunakisma, buruh tani, tukang merangkap buruh pedesaan, perempuan, komunitas adat, dan sebagainya) sehingga dampak berlainan dari kebijakan pertanahan di antara penduduk miskin pedesaan sendiri dapat disadari dan diperhitungkan.
Selanjutnya, kebijakan pertanahan harus: (4) sadar sejarah, yakni ia memiliki perspektif mengenai pokok persoalan penciptaan kemakmuran berbasis tanah, transfer kekuasaan politik, dan penerima manfaat dalam suatu tinjauan historis sehingga kerangka “keadilan sosial” dapat dikembangkan secara utuh; (5) peka gender, yakni ia paling kurang tidak mengurangi dan sebaliknya dapat memajukan hak-hak khusus kaum perempuan atas tanah—baik sebagai petani, buruh tani, maupun sebagai perempuan; (6) peka terhadap keragaman etnis, yakni ia sekurangnya tidak mengurangi dan sebaliknya dapat memajukan hak-hak khusus berbagai kelompok etnis ihwal klaim-klaim teritorial mereka; (7) meningkatkan produktivitas, yakni ia menyumbang pada peningkatan produktivitas tanah dan tenaga kerja; dan (8) mempertinggi sumber nafkah, yakni ia menyumbang pada penciptaan sumber-sumber nafkah baru yang lebih beragam dan berkelanjutan, mencakup sektor pertanian tetapi juga pemahaman yang lebih tepat dan menyeluruh mengenai kompleksitas sumber-sumber nafkah warga miskin pedesaan (diadaptasi dari Borras dan Franco, 2008).
Peran pendidikan tinggi
Disadari, tidaklah mudah upaya mentransformasikan pola pikir, mentalitas, dan perilaku aparat pelayan pertanahan menjadi kader-kader penggerak birokrasi agraria bervisikan kebijakan pertanahan pro-poor, terutama melalui pelaksanaan reforma agraria. Hal ini menuntut suatu transformasi etos dan cara kerja yang mendasar dari semula berfokus pada bidang/persil tanah semata dalam rangka ”tertib administrasi pertanahan” menjadi bertumpu pada kewilayahan (spatial) dalam arti luas dalam rangka perwujudan keadilan sosial.
Salah satu agenda utama di era reformasi ini adalah reformasi birokrasi. Tidak dapat dimungkiri bahwa hal ini sangatlah penting, tetapi ia tidak mencukupi, terutama jika perwujudan good governance dipahami sebatas arti yang netral, tanpa kepekaan pada konteks ketidakadilan sosial yang bersifat struktural. Reformasi birokrasi pertanahan yang dibutuhkan adalah reformasi yang dapat mewujudkan generasi baru kader penggerak birokrasi agraria pewujud keadilan sosial, yakni mereka yang taat asas pada nilai-nilai ideologi dan konstitusi serta terpanggil untuk mewujudkan keadilan agraria (cf. Fauzi, 2009). Dalam konteks itulah, STPN sebagai sekolah tinggi kedinasan di bidang pertanahan memposisikan diri. Dengan mengembangkan sistem pendidikan yang terpadu antara kegiatan pengajaran formal dan penggemblengan mental berbasis sistem boarding school, program pendidikan di STPN terpusat pada upaya membekali para kader penggerak birokrasi agraria (mahasiswa ikatan dinas/tugas belajar) dengan kombinasi muatan pengetahuan teknis konseptual dan pengembangan karakter kepejuangan. Hal terakhir ini mencakup nilai-nilai ideologis dan wawasan konstitusional bangsa, sekaligus juga kesadaran historis mengenai keadilan agraria sebagai aspirasi kebangsaan dan kerakyatan yang mendasar.
Dalam arti demikian, STPN merupakan pendidikan kedinasan yang memainkan pilar penting yang memastikan penyemaian atas transfer of knowledge. Juga transfer of value dan transfer of wisdom secara lengkap kepada kader-kader penggerak dan calon pemimpin birokrasi agraria, dalam hal ini di lingkungan BPN RI. Dalam satu ungkapan padat, visi seperti ini kami sebut sebagai “STPN Cermin dan Sekaligus Pembaharu BPN RI”. (Sumber: Koran Tempo, 6 Maret 2010)
Tentang penulis:
Endriatmo Soetarto, KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
Baru-baru ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 2010 tentang pendidikan kedinasan. Salah satu ketentuan yang dimuat dalam PP tersebut, sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, adalah mengenai ketentuan peralihan bagi pendidikan tinggi kedinasan (PTK). Alternatif penyesuaian tersebut adalah dialihkan menjadi badan hukum pendidikan (BHP), diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu, atau diserahkan kepada pemerintah daerah. Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya posisi dan peran PTK. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran lebih proporsional ihwal kehadiran dan peran PTK, mengacu pada perjalanan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, yang merupakan PTK di bawah lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI.
Konstitusi kita dengan tegas mengamanatkan bahwa ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945). Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 lebih lanjut menjelaskan bahwa sebesar-besar kemakmuran rakyat yang dimaksudkan di sini adalah “dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.”
Amanat konstitusi di atas lalu diikuti dengan ketetapan pemerintah yang menggariskan bahwa kebijakan pertanahan harus bisa berkontribusi pada empat hal berikut: (1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; (2) mengembangkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, dan pemilikan tanah; (3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat—khususnya tanah; dan (4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di Tanah Air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa serta konflik di kemudian hari.
Dengan mandat seperti tersebut di atas, fungsi penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertanahan haruslah didukung dengan keberadaan dan peran kader-kader penggerak birokrasi agraria. Artinya, peran mereka tidaklah sebatas mengelola aspek administrasi dan manajemen pertanahan semata, seperti dikesankan dan telah membentuk “citra diri” para aparatur pelayan pertanahan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Pencitraan tersebut berhubungan dengan upaya de-ideologisasi konstitusional atas fungsi-fungsi administratif negara di dalam menangani masalah-masalah pertanahan, utamanya semasa rezim Orba. Dengan kata lain, kebijakan pertanahan yang taat asas pada amanat konstitusi adalah yang diletakkan pada kerangka pro-poor policy yang komprehensif. Kebijakan ini secara kategoris bertujuan melindungi dan meningkatkan akses serta kepemilikan tanah penduduk miskin yang, dalam konteks agraris, menyangkut berbagai tipe dan kelompok petani dan pekerja pedesaan yang bertanah sempit atau tunakisma.
Secara terperinci, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kebijakan pertanahan dapat bersifat pro-poor: (1) adanya transfer kemakmuran, yakni kebijakan pertanahan itu harus bisa mentransfer kemakmuran berbasis tanah (atau melindungi apa yang sudah ada) dari pihak yang semula menguasainya kepada warga miskin; (2) transfer kekuasaan politik, yakni ia dapat mentransfer atau melindungi kekuasaan politik pada warga miskin pedesaan untuk mengontrol sumber-sumber agraria yang menjadi basis kehidupannya; (3) sadar pelapisan sosial, yakni ia memahami bahwa kepentingan penduduk miskin pedesaan yang bertanah sempit atau tunakisma amatlah beragam (petani tunakisma, buruh tani, tukang merangkap buruh pedesaan, perempuan, komunitas adat, dan sebagainya) sehingga dampak berlainan dari kebijakan pertanahan di antara penduduk miskin pedesaan sendiri dapat disadari dan diperhitungkan.
Selanjutnya, kebijakan pertanahan harus: (4) sadar sejarah, yakni ia memiliki perspektif mengenai pokok persoalan penciptaan kemakmuran berbasis tanah, transfer kekuasaan politik, dan penerima manfaat dalam suatu tinjauan historis sehingga kerangka “keadilan sosial” dapat dikembangkan secara utuh; (5) peka gender, yakni ia paling kurang tidak mengurangi dan sebaliknya dapat memajukan hak-hak khusus kaum perempuan atas tanah—baik sebagai petani, buruh tani, maupun sebagai perempuan; (6) peka terhadap keragaman etnis, yakni ia sekurangnya tidak mengurangi dan sebaliknya dapat memajukan hak-hak khusus berbagai kelompok etnis ihwal klaim-klaim teritorial mereka; (7) meningkatkan produktivitas, yakni ia menyumbang pada peningkatan produktivitas tanah dan tenaga kerja; dan (8) mempertinggi sumber nafkah, yakni ia menyumbang pada penciptaan sumber-sumber nafkah baru yang lebih beragam dan berkelanjutan, mencakup sektor pertanian tetapi juga pemahaman yang lebih tepat dan menyeluruh mengenai kompleksitas sumber-sumber nafkah warga miskin pedesaan (diadaptasi dari Borras dan Franco, 2008).
Peran pendidikan tinggi
Disadari, tidaklah mudah upaya mentransformasikan pola pikir, mentalitas, dan perilaku aparat pelayan pertanahan menjadi kader-kader penggerak birokrasi agraria bervisikan kebijakan pertanahan pro-poor, terutama melalui pelaksanaan reforma agraria. Hal ini menuntut suatu transformasi etos dan cara kerja yang mendasar dari semula berfokus pada bidang/persil tanah semata dalam rangka ”tertib administrasi pertanahan” menjadi bertumpu pada kewilayahan (spatial) dalam arti luas dalam rangka perwujudan keadilan sosial.
Salah satu agenda utama di era reformasi ini adalah reformasi birokrasi. Tidak dapat dimungkiri bahwa hal ini sangatlah penting, tetapi ia tidak mencukupi, terutama jika perwujudan good governance dipahami sebatas arti yang netral, tanpa kepekaan pada konteks ketidakadilan sosial yang bersifat struktural. Reformasi birokrasi pertanahan yang dibutuhkan adalah reformasi yang dapat mewujudkan generasi baru kader penggerak birokrasi agraria pewujud keadilan sosial, yakni mereka yang taat asas pada nilai-nilai ideologi dan konstitusi serta terpanggil untuk mewujudkan keadilan agraria (cf. Fauzi, 2009). Dalam konteks itulah, STPN sebagai sekolah tinggi kedinasan di bidang pertanahan memposisikan diri. Dengan mengembangkan sistem pendidikan yang terpadu antara kegiatan pengajaran formal dan penggemblengan mental berbasis sistem boarding school, program pendidikan di STPN terpusat pada upaya membekali para kader penggerak birokrasi agraria (mahasiswa ikatan dinas/tugas belajar) dengan kombinasi muatan pengetahuan teknis konseptual dan pengembangan karakter kepejuangan. Hal terakhir ini mencakup nilai-nilai ideologis dan wawasan konstitusional bangsa, sekaligus juga kesadaran historis mengenai keadilan agraria sebagai aspirasi kebangsaan dan kerakyatan yang mendasar.
Dalam arti demikian, STPN merupakan pendidikan kedinasan yang memainkan pilar penting yang memastikan penyemaian atas transfer of knowledge. Juga transfer of value dan transfer of wisdom secara lengkap kepada kader-kader penggerak dan calon pemimpin birokrasi agraria, dalam hal ini di lingkungan BPN RI. Dalam satu ungkapan padat, visi seperti ini kami sebut sebagai “STPN Cermin dan Sekaligus Pembaharu BPN RI”. (Sumber: Koran Tempo, 6 Maret 2010)
Tentang penulis:
Endriatmo Soetarto, KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
Label:
2010 Artikel Pengamat Ditutup Tag:birokrasi,
agraria,
Diterbitkan Maret 8,
Endriatmo Soetarto
Langganan:
Postingan (Atom)